Bandar lampung, – Aksi Massa bertajuk Malari 501 yang berlangsung di Jakarta pada 5 Januari 2022 lalu sampai saat ini masih menyisakan bola liar karena adanya tawaran dari Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi kepada pengunjuk rasa untuk melakukan revisi terhadap Permenhub No.12 Tahun 2019. Tawaran tersebut disampaikan secara langsung didepan ribuan pengunjuk rasa yang menuntut dibuatnya regulasi atau payung hukum keberadaan Transportasi Online Roda Dua. Sampai saat ini, inisiator aksi Malari 501 maupun para aktivis yang terlibat dalam aksi tersebut masih belum satu pendapat untuk menerima atau menolak tawaran dari Budi Setiyadi tersebut. Jum’at (07/01/2022).
Dalam kacamata hukum ketata negaraan memang dikenal produk hukum bernama Peraturan Menteri seperti diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada pasal 08 ayat 01 yang mengakomodir adanya aturan seperti Peraturan Menteri atau Permen. Namun pada ayat 02 selanjutnya di pasal yang sama dijelaskan mengenai syarat kekuatan hukum dari aturan yang dibuat, yaitu “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Disisi inilah dilematisnya, bahwa sebuah peraturan menteri yang dibuat harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tanpa terpenuhinya syarat tersebut maka peraturan menteri tersebut tidak bisa memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Permenhub No.12 Tahun 2019 jelas merupakan sebuah produk diskresi yang didasarkan pada UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurut Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Demikian yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.
Diskresi dalam penyusunan Permenhub 12 Tahun 2019 memang sah dan legal untuk mengisi kekosongan hukum atas tidak adanya satupun aturan tentang transportasi online roda dua. Namun karena merupakan produk diskresi, maka kekuatan hukumnya sangat lemah dan jelas bukan merupakan sebuah payung hukum atau regulasi yang diidamkan oleh jutaan pengemudi Ojek Online Indonesia beserta keluarganya. Diskresi dalam permenhub ini jelas tidak sesuai dengan amanat Pasal 08 ayat 02 UU No.12/2011 yang mensyaratkan sebuah peraturan menteri tidak boleh melanggar UU 22/2009 yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.
Menurut kami, Permenhub 12/2019 bukanlah sebuah payung hukum melainkan hanya merupakan produk panduan operasional bagi pengemudi ojek online dan aplikator. Satu-satunya hal yang bisa diakomodir oleh Permenhub 12/2019 tersebut hanyalah persoalan tarif, yang semula mutlak ditentukan sendiri oleh aplikator menurut mekanisme pasar, dengan adanya permenhub 12/2019 menjadi ditentukan bersama oleh pemerintah, aplikator dan perwakilan pengemudi transportasi. Dalam pelaksanaannya masih banyak kekurangan yang terjadi karena proses evaluasi berkala yang tidak dijalankan oleh para pihak dan juga penentuan siapa perwakilan pengemudi transportasi yang berhak mewakili pun masih dipertentangkan dari hari ke hari.
Jika pemerintah serius memperjuangkan nasib pengemudi ojek online, seharusnya yang dilakukan bukanlah kembali membahas sebuah permenhub yang sudah jelas dan nyata tidak mampu berbuat banyak, tapi menginisiasi terwujudnya UU atau PERPU yang mengatur keberadaan transportasi online roda dua. Kemudian merumuskan skema bisnis dalam transportasi online yang sesuai dengan UU No.20 Tahun 2008 tentang kemitraan yang mengatur bahwa kemitraan adalah antara perusahaan dengan badan usaha lainnya seperti misalnya Koperasi Pengemudi Transportasi Online dan bukan langsung kepada perseorangan pengemudi ojek online. Kemitraan harus didasarkan pada persamaan kedudukan dan keadilan. Tanpa persamaan kedudukan hukum, maka kemitraan yang terjadi akan cenderung pada penjajahan gaya baru dengan alasan aplikasi. Juga harus dibentuknya sebuah regulasi tentang asosiasi perwakilan pengemudi transportasi dari tingkat pusat hingga propinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia yang asosiasi tersebut berperan untuk bersama-sama dengan pemerintah pusat dan daerah masing-masing dan aplikator di daerah masing-masing menentukan kebijakan tarif di daerah hingga menangani permasalahan kemitraan di daerah masing-masing. Dengan konsep ini, maka kemitraan akan jelas kedudukan hukumnya dan asosiasi yang resmi dibentuk dari Sabang hingga Merauke akan menjadi perwakilan mitra di daerah masing-masing.
Kembali kepada ajakan Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi untuk melakukan evaluasi terhadap permenhub 12/2019 pasca aksi Malari 501 kemarin, maka para aktivis ojek online wajib waspada dan cermat dalam menyikapinya. Karena yang dibutuhkan oleh pengemudi ojek online seluruh Indonesia adalah sebuah produk hukum yang tegas, jelas dan mengakomodir seluruh kepentingan pengemudi, aplikator dan juga pemerintah selaku regulator. Produk hukum yang bisa menjadi payung hukum operasional hanyanya dengan melakukan amandemen UU No.22/2009 baik dengan inisiatif pemerintah maupun DPR khususnya Komisi V. Jika dianggap sudah mendesak karena menyangkut hajat hidup jutaan pengemudi ojek online, Presiden pun bisa mengeluarkan PERPU terkait melegalkan transportasi roda dua menjadi sebuah moda transportasi umum khusus. Selain dua produk hukum tersebut, maka peraturan apapun yang akan dibuat di level kementrian perhubungan akan menjadi sia-sia, tidak mengikat para pihak, tidak mengakomodir permasalahan pengemudi ojek online Indonesia dan hanya akan menjadi produk pereda nyeri sesaat bagi derita mitra pengemudi ojek online.
MIFTAHUL HUDA, SE, MM
(Ketua Umum Ormas Gaspool Lampung)
(Redaksi)